Guru Dan Semangatnya
Friday, 21 October 2016
Edit
Menjadi guru, bukanlah pekerjaan mudah. Didalamnya, dituntut pengabdian, dan juga ketekunan. Harus ada pula kesabaran, dan welas asih dalam memberikan pelajaran. Sebab, sejatinya, guru bukan hanya mendidik, tapi juga mengajarkan.
Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menjalankannya.Menjadi guru juga bukan sesuatu yang gampang. Apalagi, menjadi guru bagi bawah umur yang memiliki “keistimewaan”. Dan saya, merasa beruntung sekali sanggup menjadi guru mereka, walau cuma dalam beberapa jam saja. Ada kenikmatan
tersendiri, berada di tengah bawah umur dengan latar belakang Cerebral Palsy (sindroma gangguan otak belakang).
Suatu ketika, saya diminta untuk mendampingi seorang guru, di sebuah kelas khusus bagi penyandang cacat. Kelas itu, disebut dengan kelas persiapan, sebuah kelas yang berada dalam tingkatan awal di YPAC Jakarta. Lazimnya, bawah umur disana berumur antara 9-12 tahun, tapi kemampuan mereka setara dengan anak berusia 4-5 tahun, atau kelas 0 kecil.Saat hadir disana, kelas tampak ramai. Mereka rupanya sedang bermain susun bentuk dan warna. Ada teriak-teriakan ganjil yang parau, dan hentakan-hentakan kepala yang konstan dari mereka. Ada pula tangan-tangan yang kaku, yang sedang menyusun keping-keping diagram. Disana-sini terserak mainan kayu dan plastik. Riuh. Bangku-bangku khusus berderak-derak, bergesek dengan kursi roda sebagian anak yang beradu dengan lantai.
Saya merasa canggung dengan semua itu. Namun, perasaan itu hilang, ketika melihat seorang guru yang tampak begitu telaten menemani bawah umur disana. “Mari masuk, duduk sini dekat Si Abang, ia makin pinter lho bikin huruf,” begitu panggilnya kepada saya. Saya berjalan, melewati bawah umur yang masih sibuk dengan kiprah mereka. Ah benar saja, si Abang, anak berusia 11 tahun yang mengalami Cerebral Palsy dengan pembesaran kepala itu, tampak tersenyum kepada saya. Badannya melonjak-lonjak, tangannya memanggil-manggil seakan ingin pamer dengan kepandaiannya menyusun huruf.
Subhanallah, si Abang kembali melonjak-lonjak. Saya kaget. Saya tersenyum. Dia tergelak tertawa. Tak lama, kami pun mulai akrab. Dia tak aib lagi dibantu menyusun angka dan huruf. Susun-tempel-susun-tempel, begitu yang kami lakukan.
Ah, saya mulai menikmati pekerjaan ini. Dia pun sekarang tampak bergayut di tangan saya. Tanpa terasa, saya mengelus kepalanya dan mendekatkannya ke dada. Terasa hening dan hangat.
Sementara di sudut lain, sang Ibu guru tetap sabar sekali menemani semua anak disana. Dituntunnya tangan bawah umur itu untuk meniti susunan-susunan gambar. Dibimbingnya setiap jemari dengan tekun, sambil sesekali mengajak mereka tersenyum. Tangannya tak henti mengusap lembut ujung-ujung jemari lemah itu. Namun, tak pernah ada keluh, dan murka yang saya dengar.
Waktu berjalan begitu cepat. Dan kini, waktunya untuk pulang. Setelah membereskan beberapa permainan, bawah umur pun bersiap di kursi masing-masing.
Duh, hening sekali melihat bawah umur itu bersiap dengan posisi serapih-rapihnya. Tangan yang bersedekap diatas meja, dan tatapan polos kearah depan, saya yakin, menciptakan setiap orang tersenyum. Ibu guru pun mulai memimpin doa, memimpin setiap anak untuk mengatupkan mata dan memanjatkan harap kepada Tuhan.
Damai sekali jasus yang mengatup itu. Teduh sekali melihat mata mereka semua terpejam. Empat jam sudah saya bersama “malaikat-malaikat” kecil itu. Lelah dan penat yang saya rasakan, tampak tak berarti dibanding dengan pengalaman batin yang saya alami. Kini, mereka bergerak, berbaris menuju pintu keluar. Tampak satu persatu kursi roda bergerak menuju ke arah saya. Duh, ada apa ini? Lagi-lagi saya terharu.
Setibanya di depan saya, mereka semua terdiam, mengisyaratkan untuk mencium tangan. Ya, mereka mencium tangan saya, sambil berkata, “Selamat siang Pak Guru..” Ah, perkataan yang tulus yang menciptakan saya melambung. Pak guru…Pak Guru, begitu ucap mereka satu persatu. Kursi roda mereka berderak-derak setiap kali mereka mengayuhnya menuju ke arah saya. Derak-derak itu kembali menciptakan saya terharu, membayangkan usaha mereka untuk sekedar mencium tangan saya. Anak yang terakhir telah mencium tangan saya. Kini, tatapan saya bergerak ke samping, ke arah punggung bawah umur yang berjalan ke pintu keluar. Dalam membisu saya berucap, “..selamat jalan anak-anak, selamat jalan malaikat-malaikat kecilku…” Saya membiarkan airmata yang menetes di sela-sela kelopak. Saya biarkan bulir itu jatuh, untuk melukiskan perasaan haru dan besar hati saya. Bangga kepada usaha mereka, dan juga haru pada semangat yang mereka punya.
***
Teman, menjadi guru bukan pekerjaan mentereng. Menjadi guru juga bukan pekerjaan yang gemerlap. Tak ada kerlap-kerlip lampu sorot yang memancar, juga pendar-pendar cahaya setiap kali guru-guru itu sedang membaktikan diri. Sebab mereka memang bukan para pesohor, bukan pula bintang panggung. Namun, ada sesuatu yang mulia disana. Pada guru lah ada kerlap-kerlip cahaya kebajikan dalam setiap nilai yang mereka ajarkan. Lewat guru lah memancar pendar-pendar sinar keikhlasan dan ketulusan pada kerja yang mereka lakukan.
Merekalah sumber cahaya-cahaya itu, yang menyinari setiap hati bawah umur didik mereka.
Dari gurulah kita berguru mengeja kata dan kalimat. Pada gurulah kita berguru lamat-lamat bahasa dunia. Lewat guru, kita berguru akal pekerti, berguru mengasah hati, dan menyelami nurani. Lewat guru pula kita mengerti ihwal banyak hal-hal yang tak kita pahami sebelumnya. Tak berlebihankah kalau kita menyebutnya sebagai pekerjaan yang mulia? Teman, kalau ingin mencicipi pengalaman batin yang berbeda, cobalah menjadi guru.
Rasakan kenikmatan ketika setiap bawah umur itu memanggil Anda dengan sebutan itu, dan biarkan mata penuh perhatian itu memenuhi hati Anda. Ada sesuatu yang berbeda disana. Cobalah. Rasakan.
sumber: resensi.net
Berbagai Sumber