Siapakah Perempuan Yang Pertama Masuk Surga?
Saturday, 22 October 2016
Edit
Wanita yang diperkenankan masuk nirwana pertama kali ialah seorang perempuan yang berjulukan Muti’ah. Kaget? Sama menyerupai Siti Fatimah saat itu, yang mengira dirinyalah yang pertama kali masuk surga.
Siapakah Muti’ah? Karena rasa ingin tau yang tinggi, Siti Fatimah pun mencari seorang perempuan yang berjulukan Muti’ah saat itu. Beliau juga ingin tahu, amal apakah yang sanggup menciptakan perempuan itu sanggup masuk nirwana pertama kali? Setelah bertanya-tanya, balasannya Siti Fatimah mengetahui rumah seorang perempuan yang berjulukan Muti’ah. Kali ini ia ingin bersilaturahmi ke rumah perempuan tersebut, ingin melihat lebih bersahabat kehidupannya. Waktu itu, Siti Fatimah berkunjung bersama dengan anaknya yang masih kecil, Hasan. Setelah mengetuk pintu, terjadilah dialog.
“Di luar, siapa?” kata Muti’ah tidak membukakan pintu.
“Saya Fatimah, putri Rasulullah”
“Oh, iya. Ada keperluan apa?”
“Saya hanya berkunjung saja”
“Anda seorang diri atau bersama dengan lainnya?”
“Saya bersama dengan anak saya, Hasan?”
“Maaf, Fatimah. Saya belum mendapatkan izin dari suami saya untuk mendapatkan tamu laki-laki”
“Tetapi Hasan masih anak-anak”
“Walaupun anak-anak, beliau lelaki juga kan? Maaf ya. Kembalilah besok, saya akan meminta izin dulu kepada suami saya”
“Baiklah” kata Fatimah dengan nada kecewa. Setelah mengucapkan salam, ia pun pergi.
Keesokan harinya, Siti Fatimah kembali berkunjung ke rumah Muti’ah. Selain mengajak Hasan, ternyata Husein (saudara kembar Hasan) merengek meminta ikut juga. Akhirnya mereka bertiga pun berkunjung juga ke rumah Muti’ah. Terjadilah obrolan menyerupai hari kemarin.
“Suami saya sudah memberi izin bagi Hasan”
“Tetapi maaf, Muti’ah. Husein ternyata merengek meminta ikut. Kaprikornus saya ajak juga!”
“Dia perempuan?”
“Bukan, beliau lelaki”
“Wah, saya belum memintakan izin bagi Husein.”
“Tetapi beliau juga masih anak-anak”
“Walaupun anak-anak, beliau juga lelaki. Maaf ya. Kembalilah esok!”
“Baiklah” Kembali Siti Fatimah kecewa.
“Suami saya sudah memberi izin bagi Hasan”
“Tetapi maaf, Muti’ah. Husein ternyata merengek meminta ikut. Kaprikornus saya ajak juga!”
“Dia perempuan?”
“Bukan, beliau lelaki”
“Wah, saya belum memintakan izin bagi Husein.”
“Tetapi beliau juga masih anak-anak”
“Walaupun anak-anak, beliau juga lelaki. Maaf ya. Kembalilah esok!”
“Baiklah” Kembali Siti Fatimah kecewa.
Namun rasa penasarannya demikian besar untuk mengetahui, diam-diam apakah yang menjadikan perempuan yang akan dikunjunginya tersebut diperkanankan masuk nirwana pertama kali. Akhirnya hari esok pun tiba. Siti Fatimah dan kedua putranya kembali mengunjungi kediaman Mutiah. Karena semuanya telah diberi izin oleh suaminya, balasannya mereka pun diperkenankan berkunjung ke rumahnya. Betapa senangnya Siti Fatimah alasannya ialah inilah kesempatan bagi dirinya untuk menguak misteri perempuan tersebut.
Menurut Siti Fatimah, perempuan yang berjulukan Muti’ah sama juga menyerupai dirinya dan umumnya wanita. Ia melaksanakan shalat dan lainnya. Hampir tidak ada yang istimewa. Namun, Siti Fatimah masih ingin tau juga. Hingga balasannya saat telah usang waktu berbincang, “rahasia” perempuan itu tidak terkuak juga. Akhirnya, Muti’ah pun memberanikan diri untuk memohon izin alasannya ialah ada keperluan yang harus dilakukannya.
“Maaf Fatimah, saya harus ke ladang!”
“Ada keperluan apa?”
“Saya harus mengantarkan makanan ini kepada suami saya”
“Oh, begitu”
Tidak ada yang salah dengan makanan yang dibawa Muti’ah yang disebut-sebut sebagai makanan untuk suaminya. Namun yang tidak habis pikir, ternyata Muti’ah juga membawa sebuah cambuk.
“Untuk apa cambuk ini, Muti’ah?” kata Fatimah penasaran.
“Oh, ini. Ini ialah kebiasaanku sejak dulu”
Fatimah benar-benar penasaran. “Ceritakanlah padaku!”
“Ada keperluan apa?”
“Saya harus mengantarkan makanan ini kepada suami saya”
“Oh, begitu”
Tidak ada yang salah dengan makanan yang dibawa Muti’ah yang disebut-sebut sebagai makanan untuk suaminya. Namun yang tidak habis pikir, ternyata Muti’ah juga membawa sebuah cambuk.
“Untuk apa cambuk ini, Muti’ah?” kata Fatimah penasaran.
“Oh, ini. Ini ialah kebiasaanku sejak dulu”
Fatimah benar-benar penasaran. “Ceritakanlah padaku!”
“Begini, setiap hari suamiku pergi ke ladang untuk bercocok tanam. Setiap hari pula saya mengantarkan makanan untuknya. Namun disertai sebuah cambuk. Aku menanyakan apakah makanan yang saya buat ini lezat atau tidak, apakah suaminya seneng atau tidak. Jika ada yang tidak enak, maka saya ikhlaskan diriku supaya suamiku mengambil cambuk tersebut lalu mencambukku. Ini saya lakukan supaya suamiku ridlo dengan diriku. Dan tentu saja melihat tingkah lakuku ini, suamiku begitu tersentuh hatinya. Ia pun ridlo atas diriku. Dan saya pun ridlo atas dirinya”
“Masya Allah, hanya demi menyenangkan suami, engkau rela melaksanakan hal ini, Muti’ah?”
“Saya hanya memerlukan keridloannya. Karena istri yang baik ialah istri yang patuh pada suami yang baik dan sang suami ridlo kepada istrinya”
“Ya… ternyata inilah diam-diam itu”
“Rahasia apa ya Fatimah?” Mutiah juga penasaran.
“Rasulullah Saw menyampaikan bahwa dirimu ialah perempuan yang diperkenankan masuk nirwana pertama kali. Ternyata semua gara-gara baktimu yang tinggi kepada seorang suami yang sholeh.”
“Saya hanya memerlukan keridloannya. Karena istri yang baik ialah istri yang patuh pada suami yang baik dan sang suami ridlo kepada istrinya”
“Ya… ternyata inilah diam-diam itu”
“Rahasia apa ya Fatimah?” Mutiah juga penasaran.
“Rasulullah Saw menyampaikan bahwa dirimu ialah perempuan yang diperkenankan masuk nirwana pertama kali. Ternyata semua gara-gara baktimu yang tinggi kepada seorang suami yang sholeh.”
Subhanallah.
(Re-Type from fadil.blogsome.com)
Berbagai Sumber